Fenomena sosial yang makin terasa di era digital sekarang bukan hanya menimpa pusat perbelanjaan akibat perubahan tren belanja, tapi juga karena munculnya sosok-sosok yang tak disangka-sangka: Rojali dan kini, Rohana.


Siapa Itu Rojali dan Rohana?

Jika kamu pernah main ke mal dan melihat pttogel sekelompok orang hanya duduk, nongkrong, dan sesekali buka HP sambil ngemil dari bekal sendiri, bisa jadi kamu sedang melihat “Rojali” dan “Rohana”. Istilah Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) kini jadi semacam fenomena budaya populer yang mencerminkan kebiasaan sebagian pengunjung mal yang datang bukan untuk belanja, melainkan hanya untuk jalan-jalan atau mencari hiburan gratis.

Rojali biasanya datang dalam grup, kadang bawa keluarga besar, tapi jarang sekali mengeluarkan uang kecuali untuk parkir dan mungkin satu gelas es teh manis. Sedangkan Rohana lebih spesifik lagi — mereka rajin masuk toko, tanya harga, pegang barang, kadang coba sana-sini, tapi akhirnya tidak beli apa-apa. Bahkan ada yang berpindah dari satu toko ke toko lain hanya untuk “cuci mata”.


Dampaknya ke Omzet Mal

Menurut pengelola beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta dan kota-kota besar lain, kehadiran Rojali dan Rohana memang menambah jumlah pengunjung, tapi tidak selalu berbanding lurus dengan pendapatan tenant atau penyewa toko. Banyak tenant mengeluh bahwa traffic pengunjung naik, tapi omzet tetap stagnan atau bahkan menurun. Situasi ini diperparah dengan tren belanja online yang semakin kuat, membuat banyak orang hanya menjadikan mal sebagai tempat jalan-jalan, bukan tempat belanja utama.

baca juga: siapa-pemilik-mie-gacoan-yang-direkturnya-tersandung-pelanggaran-hak-cipta

Seorang manajer tenant fashion di mal kawasan Bekasi mengatakan:

“Pengunjung banyak, tapi yang benar-benar belanja paling 20 persen. Sisanya cuma numpang foto, duduk-duduk, atau tanya-tanya doang.”

Hal ini menjadi perhatian serius bagi manajemen pusat perbelanjaan, yang kini harus memutar otak agar mal tetap hidup dan tenant tidak tutup satu per satu.


Mal Jadi Tempat Nongkrong, Bukan Lagi Tempat Belanja

Dengan berkembangnya budaya sosial media dan FOMO (Fear of Missing Out), banyak anak muda yang datang ke mal hanya untuk membuat konten — entah itu OOTD, TikTok dance, atau sekadar story Instagram. Mereka mungkin makan di food court termurah atau hanya beli satu minuman untuk lima orang, lalu nongkrong berjam-jam.

Rojali dan Rohana memang tidak bisa dilarang datang, karena secara tidak langsung mereka juga menciptakan keramaian yang dibutuhkan mal. Namun, ketidakseimbangan antara pengunjung dan pembeli sejati ini membuat mal terlihat semu—ramai tapi lesu secara ekonomi.


Respons Pengelola dan Solusi

Beberapa pengelola mal mencoba menyiasati fenomena ini dengan mengadakan program loyalti, promo diskon khusus member, atau kolaborasi dengan influencer lokal untuk menarik minat beli. Ada juga yang mulai mengubah konsep mal menjadi lebih banyak experience-based seperti zona bermain anak, instalasi seni, atau bazar kreatif yang mendorong transaksi langsung.

Selain itu, sebagian tenant juga memperketat aturan soal pemakaian fasilitas mereka. Misalnya, pembeli harus menunjukkan struk belanja minimal untuk bisa menggunakan WiFi gratis, colokan listrik, atau toilet VIP.


Penutup: Jalan Tengah untuk Semua

Fenomena Rojali dan Rohana mungkin tidak bisa dihapus sepenuhnya, karena ia adalah bagian dari perubahan gaya hidup masyarakat modern. Namun, penting bagi semua pihak—baik pengunjung, tenant, maupun pengelola mal—untuk menciptakan keseimbangan. Mal bukan hanya tempat pendingin ruangan gratis, tapi juga ekosistem ekonomi yang perlu dijaga keberlanjutannya.

Kalau kamu termasuk Rojali atau Rohana, sesekali coba dukung tenant lokal dengan membeli sesuatu, sekecil apa pun itu. Karena tanpa belanja, bisa jadi suatu hari nanti mal yang kamu datangi hanya tinggal kenangan — tutup karena sepi omzet.

sumber artikel: www.ststradingdesk.com

More From Author